Sabtu, 10 Desember 2011

PUISI Bag. IV

Padi untuk Anak Cucunya

Jejak musim demi musim bersahabat dan menjadi tinta di urat-urat kulit tuanya
Diikutinya kemana musim terubah oleh Sang Maha Satu tanpa kesah dari bibir rentahnya
Tubuh pak tua itu telah akrab dengan lumpur, matahari, angin, hujan dan halilintar yang slalu menyapanya
Saat hamparan permadani padi menguning, terbalaslah sudah semua gundah dan kerja kerasnya

Subuh setelah kewajibannya pada Sang Pencipta, tergeraklah kaki itu ke lembaran pematang
Digenggam dan diayunkannya cangkul hingga otot tebalnya mengeras dan meregang
Entah berapa kilo panjang tanah yang tercangkulnya, bila sawah itu adalah jalan yang panjang
Dijaga dan dirawatnya juntaian bulir padi itu hingga hari menjelang petang.



Petani Tua itu bersujud PadaMu Ya ILLAHI, agar padinya tumbuh menunduk PadaMU pula
Tiap serut buliran penuh butir padi tertanam harapan yang besar tuk meraih cita-cita
Saat hujan menunda tetesannya, keringatnyalah yang menyiraminya
Kadang dia ingin bermalam di tepi sawah, menemani padinya dibawah purnama.

Sampaikah padinya berganti rupiah
Menjadi belaian kertas yang berarti bagi manusia
Sampaikah padi itu membesarkan cucu-cucunya dirumah
Karna mereka berhak hidup dari padi yang tumbuh di tanah pertiwi tercinta
Sampaikah umurnya berkali-kali memanen butiran-butirannya
Karna dari ijinNYAlah dia menapaki halaman-halaman tahun di dua petak sawahnya
Dia paksakan tubuh rentahnya tetap tegak, berbalut kulit tipis menghitam demi cucunya.
Dialah laki-laki sejati, cintanya pada istri, keluarga dan cucunya setiap hari bertambah seiring kepergiannya.

By. Irawan

SANG PENCIPTA BERLIAN DAN EMAS
Lagi-lagi harta membutakan segumpal daging yang menjadi hati kita
Bahkan saat terlelappun mereka masih memikirkannya
Harta bagaikan kaca mata yang selalu menutup mata mereka
Setiap tarikan nafas mereka, bau hartalah yang mereka pinta

Direngkuhnya berlian dan emas meski tersimpan dekat magma bumi
Dikejarlah berlian dan emas meski banyak nyawa mereka jadikan upeti
Ditumpuklah berlian dan emas meski harus mengubur hati yang suci
Dibelailah berlian dan emas meski indera telapak tangannya tlah mati

Hanya berlian dan emaslah yang mampu membuat matanya terpukau
Mereka mengira hanya di bumi ini berlian dan emas tertanam
Tidakkah mereka berpikir tentang berjuta-juta bintang yang cahayanya berkilau
Jika semua bintang adalah berlian dan emas, berarti emas di bumi hanya setitik pasir kelam

Kenapa berlian dan emas lebih berharga dari niat baik tanpa noda
Kenapa gemerlap berlian dan emas lebih menyilaukan dari beningnya cinta
Kenapa berlian dan emas lebih sering disaput ketimbang buramnya hati mereka
Kenapa berlian dan emas terus ditumpuk ketimbang amal bijak yang ada

Mungkin dengannya dunia bisa dibelinya, selama apa dunia bisa disandarinya
Mungkin dengannya perasaan manusia bisa dimilikinya, jelas bukan rasa tulus dan nyata
Mungkin karna bisa mengeyangkan perut mereka, setambun apa perut yang mereka pelihara
Mungkin karna bisa meninggikan kehormatan, hanya kehormatan semu di satu alam dunia

Bila dulu Sang Maha Satu lagi Maha Kaya mengiyakan gunung-gunung terbuat dari batu mulia
Berhargakah, bernilaikah, terhormatkah lagi karna benda itu, tak berarti tanpa amanah
Tidak tahukah mereka bahwa seindah-indahnya perhiasan dunia adalah wanita yang soleha
Tidak tahukah mereka setinggi-tingginya derajad dan kehormatan adalah mereka yang beriman dan bertaqwa
Tidak meengertikah mereka bahwa sebaik-baiknya hartawan adalah mereka yang membelanjakannya di jalanNYA
Apakah semua kenikmatan semu itu mereka bawa saat mereka hilang dari bumi ini
Berlian dan emas mereka miliki hanya sepanjang usia mereka, dari terlahir hingga mati.

By. Irawan

SATU LAMPU DI TAMAN ITU
Kelelawarpun akan menyerah bila kutantang untuk bertahan membuka mata di malam hari
Tak ayal suasana malam menjadi sahabat karibku menunggu datangnya pagi
Kadang ku tengadahkan kepalaku tuk melihat bintang sebagai perhiasan bumi
Dan kadang kuheningkan suasana tuk mencari suara jangkrik bernyanyi tuk pujaan hati

Di jalan menuju rumahku ada sedikit taman tertancap di pojok jalan
Taman yang kecil, hijau dengan sedikit bunga menempel tak beraturan
Tapi taman itu tampak indah bila malam telah melemparkan siang ke tepian
Berkali kali kupikirkan apa yang membuat taman itu begitu mengagumkan

Suatu ketika aku melihat taman itu seperti mati, tak tersapa dan teracuhkan
Memang bunga di tanam itu mekar di malam hari, tapi mengapa hening bak kesepian
Ternyata satu lampu di taman itu enggan tuk memancarkan cahaya kekuningan
Mungkin lampu itu terkecewakan oleh bunga malam yang tak lagi mau diperhatikan

Bertahun-tahun lampu itu meneranginya , hingga sang bunga terlihat indah mempesona
Cahaya itu mebuat sang bunga melihat dunianya dan terjaga keindahannya
Satu lampu di taman itu sangat berarti bagi sang bunga yang sering tak mengerti akan fitrahnya
Jika sang bunga mengerti, cahaya lampu itulah yang membuat dia terhomati dan nyata

By. Irawan.

SEJUJURNYA AKU

Jujur, bukan tatapan pandangan pertama yang membuatku jatuh cinta
Tapi dari perlahan gerak tertunduknya kepalamu setelah pandangan pertama itu
Jujur bukan karna kecantikan parasmu aku terpesona tanpa sela
Tapi pandainya dirimu berusaha menutupi semua kelebihan lahirmu

Sebenarnya bila di dekatmu, hati ini berasa tidak pada tempatnya
Sejujurnya lagi jantungkupun berdetak bukan pada hitungannya
Sebenarnya bila kau jauh dariku, ingin ku putar bumi ini kembali
Sejujurnya lagi ingin kuhentikan waktu dan putaran bumi hingga kau tetap disini.

Aku takut tuk menyapa dan memperkenalkan diri
Jujur, aku lebih takut bila tidak pernah mengenalmu lagi
Aku ragu cukupkah diriku untuk wanita yang lebih indah dari pelangi
Jujur aku lebih ragu mengarungi hidupku bila tanpa memandangmu lebih dari sekali.

Begitu beruntungnya bumi yang telah terlekati bayanganmu
Jujur, lebih beruntung si angin genit yang setiap saat membelai pipimu
Begitu beruntungnya bintang yang slalu kau pandangi sebelum tidurmu
Jujur, lebih beruntung tirai jendalamu yang sepanjang malam melihat lelapmu.

Tak sanggupku tuk tidak jujur karna kebaikan, kecerdasan dan keanggunanmu
Tak akan bisa aku membohongi diri sendiri, bahwa suaramu adalah nasehat bagiku
Saat bulu matamu perlahan turun, segera kubenahi diriku bila aku salah
Pantaskah aku mengejarmu, jujur aku bukan mereka yang dari lahir berharta

Terjatuhlah air mata bening itu membasahi pipi indahmu, saat melihatku pergi menjauh
Tersentuhlah lutut terbalut kain itu ke tanah, saat aku hampir hilang dari pandanganmu
Bila kau tahu, jujur mataku lebih sakit saat air mataku keluar untukmu kasih tercinta
Bila kau tahu, jujur hidupku hampa, menanggung cara yang harus aku lakukan demi melihatmu bahagia….

By. Irawan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar